Makalah Opu Daeng Menambon Di Kerajaan Mempawah

PERAN OPU DAENG MENAMBON DALAM MENGEMBANGKAN KERAJAAN MEMPAWAH  KALIMANTAN BARAT 
(1737-1761)


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Masalah Penelitian
C.     Tujuan Penelitian
D.    Manfaat Penelitian
E.     Ruang Lingkup Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.    Heuristik
B.     Kritik
C.     C.Interpretasi
D.    D.Historiograf
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
A.    KESIMPULAN
B.     SARAN

DAFTAR PUSTAKA



DAFTAR GAMBAR

Gambar Kerajaan Mempawah





DAFTAR TABEL.
NAMA RAJA
TAHUN
Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara
(1740–1761 M)
Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma
(1761–1787)
Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah
(1787–1808)
Syarif Hussein (1808–1820)
(1808–1820)
Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin
(1820–1831)
Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin
(1831–1839)
Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma
(1839–1858)
Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin
(1858)
Gusti Usman bergelar Panembahan Usman
(1858–1872)
Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin
(1872–1892)
Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri
(1892–1902)
Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin
(1902–1944)
Gusti Mustaan
(1944–1955
Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII
(2002-Sekarang)
(Daftar nama raja mempawah dan masa kepemimpinannya)







KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segalalimpahan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas penelitian  ini yang berjudul “PERAN DAENG MANAMBON DALAM MENGEMBANGKAN KERAJAAN MEMPAWAH KALIMANTAN BARAT (1737-1761)
Kami menyadari bahwa proses penulisan penelitian  ini jauh dari kesempurnaan, baik materi maupun penulisannya.
namun demikian,  saya telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat menyelesaikan
tugas ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan tugas penelitian ini, kami berharap semoga  ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa/I dan pembaca lainnya.
  



Pontianak, January 2013
penyusun






BAB 1 : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebelum terkenalnya kerajaan mempawah,yang dikenal dengan istana Amantubillah dan Opu Daeng Manambon, telah ada jauh kebelakang kerajaan dayak yang ketika itu sangat terkenal di Kalimantan Barat,khususnya di sebelah barat,maka tidak dapat di lepaskan kaitan dan rangkainya dengan penduduk asli yaitu Suku Dayak yang mula pertama menjadi raja dan penguasa (wahyudi, 2008.)
Kerajaan Melayu (islam) di Kalimantan Barat tumbuh sebelum Imperium Malaka jatuh ke tangan portugis pada abat ke 16 sebagaimana di ketahui adanya kerajaan Mempawah,kerajaan Sambas,Matan (Ketapang) dan sejumlah kerajaan kecil didaerah pedalaman yang perkembangan nya tidak terlepas dari kontribusi pahlawan-pahlawan Bugis yang memainkan peran di kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung (suryani soren dalam wahyudi, 2008.)
Opu Daeng Menambon bukan la orang Kalimantan asli. Beliau besarta ke empat adiknya  barasal dari Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan.meraka di kenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan pemberani. Mereka meninggalkan tanah kelahiranya merantau mengarungi lautan luas menuju Banjarmasin, Betawi, Johor, Riau, Semenanjung Melayu akhirnya sampai pula di daerah kerajaan Tanjungpura (Matan).
Ketika tiba di Matan ternyata di sana sedang terjadi perang saudara memperebutkan kekuasaan. Opu daeng menembon dan saudaranya membantu raja(Sultan Zainuddin) mempertahankan kekuasaannya dan berakhir dengan kemenangan yang sang raja Matan. Untuk membalas kebaikannya, sang raja menikahkan Opu Daeng Menambun dengan putrinya yaitu putri Kesumba. Karena putri Kesumba adalah  cucu panembahan Sengkawuk ( berkedudukan di Mempawah), maka Opu Daeng Menambon diberikan kepercayaan untuk memerintah di kerajaan Mempawah. Dari sinilah awal mulanya sosok Opu Daeng Menambon dikenal.


B.     Masalah Penelitian
Adapun masalah dalam penelitiaan ini adalah,”  Bagaimana peranan Opu Daeng Menambon dalam mengembangkan kerajaan mempawah...?” dengan sub masalah sebagai barikut:
1.      Bagaimana peran daeng manambon dalam perkembangan kerajaan mempawah?
2.      Bagaimana kerajaan mempawah di bawah kepemimpinan opu daeng manambon?

C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Opu Daeng Menambon dalam mengembangkan kerajaan Mempawah Kalimantan Barat

D.    Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini pembaca mendapatkan pemahaman mengenai kekayaan budaya kita khususnya budaya Melayu (islam) Kalimantan Barat yang ada disekitar kita.
E.     Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah tentang awal mula datangnya opu daeng manambon ke mempawah, kerajaan mempawah di bawah kepemimpinan daeng manambon, dan masuknya islam ke mempawah.









BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A.    Awal Mula Datangnya Opu Daeng Menambon ke Mempawah
Mempawah adalah sebuah ibu kota Kerajaan yang telah di cetuskan dalam diskusi berdasarkan  sumber dari Mempawah Hulu mengatakan berasal dari kata “ buah asam paoh ”, dan Mempawah hilir mengatakan berasal dari kata “ pohon mempelam paoh “, karena pohon ini banyak tumbuh di sekitar kota Mempawah tempo deoloenya ( menurut beberapa pendapat yang banyak tumbuh itu adalah pohon-pohon nipah, karena daerah itu masih dekat dengan laut) (Suryani Soren, 2009).
Sebelum kedatangan Opu Daeng Menambon, roda pemerintahan sementara waktu di jalankan Pangeran Adipati Kerajaan Mempawah pada saat di pimpin oleh Patih Gumantar mengalami kejayaan,  yang dikenal dengan  kerajaan Bangkule Rajakng. Pusat pemerintahan berada di Sadaniang. Dalam perang Kayau Mengayau
( perang dengan cara memenggal kepala orang) yaitu perang yang terjadi antara kerajaan yang Bungkale Rajakng dengan Suku Bijau, kepala Patih Gumantar  terpenggal sehingga kerajaan ini mengalami kekalahan. Beberapa abad setelah meninggalnya Patih Gumantar yaitu sekitar tahun 1610 keaajaan dipindahkan ke Pekana (Karangan) oleh raja Kudung. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh raja Sengkauk (Natsir, 2011).
Sekitar tahun 1740 Opu Daeng Menambon dan Istrinya Ratu Kesumba diikuti oleh ibu mertuanya Ratu Mas Indriwati beserta juga neneknya Putri Cermin menuju ke senggauk. Sesampainya di senggauk, diadakan serah terima kekuasan dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Menambon, karena Opu Daeng Menambon adalah cucu menantu dari penembahan sanggauk. Setelah menduduki tahta kerajaan, Opu Daeng Menambon memindahkan pusat kekuasaanya ke sebuah tempat yang belakang diperkenalkan dengan nama Sebukit Rama (Usman, 2011)


B.     Masa Pemerintahan Opu Daeng Menambon
Kedatangan Opu Daeng Menambon Pangeran Mas surya Negara disertai dengan empat puluh perahu lancang. Saat masuk di muara kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Karena terharu dengan penyambutan meraka, Opu Daeng Menambon pun memberikan bekal makananya kepada warga yang berada dipinggir sungai untuk dapat dinikmati bersama. Sebelumnya menyantap makanan rombongan  Opu Daeng Menambon menyempatkan diri  turun ke kuala mempawah untuk berdoa bersama, barulah setelah itu diadakan makan bersama. Prosesi ini kemudian dijadikan awal digelarnya hari robo-robo (natsir 2011).
Jika Sebukit Rama (dulunya sebagai pusat kerajaan Bangkule Rajakng) memakai hukum adat dalam pemerintahanya memakai hukum adat maka Opu Daeng Menambon menggunakan hukum syara’ agama islam, yaitu hukum yang mengenai masalah ibadat (misal sembahyang, puasa dan haji), mu’amalat (jual beli, sewa menyewa, pinjaman, membuka perusahaan, tahah, dsb), munakahat (perkawinan, kewarisan, perceraian, dsb) dan khinayat (pencurian, perampokan, dsb), yang dalam pelaksanaanya beliau dibantu oleh para ulama, imam, khatib, bilal, dan lebai yang masing-masing ahli dalam bidangnya (Suryani Soren, 2011).








BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A.    Heuristik
Heuristik merupakan bagian dari penelitian sejarah. Heuristik adalah upaya penelitian yang mendalam untuk menghimpun jejak-jejak sejarah atau mengumpulkan dokumen-dokumen agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian-kejadian bersejarah di masa lampau. Jejak-jejak atau dokumen-dokumen yang berhasil di himpun itu merupakan data-data yang sangat beharga sehingga dapat dijadikan dasar untuk menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi di masa lampau, namun tidak mudah untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah tersebut seorang ahli atu sejrahwan  hendaknya telah memiliki suatu informasi yang akurat tentang keberadaan dan kebenaran suatu peristiwa sejarah.
Peristiwa yang terjadi di masa lampau dapat terungkap jika ada sumber-sumber sejarah yang mendukungnya. Sumber sejarah terdiri atas :
   1 .Sumber lisan
               Merupakan keterangan langsung dari para pelaku atau saksi dari peristiwa yang terjadi di masa lampau, atau dari orang-orang yang menerima keterangan itu secara lisan dari orang lain. Misalnya seorang pejuang ’45 menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada orang lain.
2. Sumber tertulis
               Yaitu sumber sejarah yang diperoleh melalui peninggalan-peninggalan tertulis yang mencatat peristiwa yang terjadi di masa lampau. Misalnya prasasti, dokumen, naskah dan rekaman.
3.Sumber benda
Yaitu sumber sejarah yang diperoleh dari peninggalan benda-benda kebudayaan. Misalnya alat-alat atau benda-benda budaya (kapak, gerabah, perhiasan, dan manik-manik).

B.     Kritik
Kemudian masuk kritik atau pengujian kebenaran dari data yang disajikan tersebut. Seandainya sudah betul-betul lulus uji alias kebenarannya tidak disangsikan maka data itu disebut fakta sejarah;
Dalam ilmu sejarah, kritik dilakukan untuk mencari kebenaran suatu sumber sejarah. Terdapat dua jenis kritik sejarah, yaitu:
·         Kritik internal (uji kredibilitas)
Kritik Intern merupakan penilaian `keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada
·         Kritik ekstern
Kritik ekstern di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya
  
C.Interpretasi
 selanjutnya masuk interpretasi. Fakta-fakta sejarah tadi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial atau ilmu bantu lainnya sehingga dapat diketahui hakikat dibalik kejadian sejarah atau fakta sejarah
Interpretasi/penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua/lebih pembicaraan yang dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan(interpretasi simultan) atau berurutan (interpretasi berurutan). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa interpretasi merupakan suatu penafsiran teradap sumber-sumber sejarah. Setelah melakukan beberapa tahap di atas dari mula pengumpulan data hingga mengkritik keaslian dari sumber-sumber sejarah,barulah berlanjut pada tahap ke tiga yaitu penafsiran terhadap sumber sejarah. Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang seperti pada propoganda atau cuci otak, tujuanya justru untuk mengacukan pengertian dan membuat kebingungan, dan didalam penulisan sejarah digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknis dasar tulius menulis yaitu deskrifsi, narasi, dan analisi. Selain itu tujuan  terpenting dalam interpretasi ialah agar orang lain/pembaca  tidak menemukan penafsiran-penafsiran baru.
D.Historiografi
Apabila sudah melakukan interpretasi baru masuk tahapan menyimpulkan dengan menuliskannya. Tahap inilah tahap yang disebut historiografi. Jadi, tidak asal menarik kesimpulan. historiografi merupakan langkah terakhir yaitu proses penulisan dan penyusunan kisah masa lampau yang direkrontruksi berdasarkan pada fakta yang telah diberi penafsiran peristiwa sejarah yang dikisahkan melalui historiografi akan sangat di pengaruhi oleh subyektifitas si penulis dalam merekontruksinya. Dalam penulisan sejarah perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasanya sehingga orang tertarik untuk membacanya. dengan demikian penulisan sejarah mempunyai unsure yang sama dengan penulisan sastra yaitu sama-sama menyajikan suatu kisah , bedanya dalam sejarah .





BAB IV : PEMBAHASAN
A.    Sejarah Kerajaan Mempawah

Kerajaan Mempawah bermula dari sebuah kerajaan Dayak yang berkedudukan di dekat pegunungan Sidiniang, Sangking, Mempawah Hulu yang berdiri kira-kira tahun 1340 Masehi.
 Kerajaan yang dipimpin oleh Patih Gumantar itu disebut-sebut sebagai pecahan kerajaan Matan/Tanjungpura. Kerajaan ini sangat populer pada zamannya. Patih Gumantar juga telah mengajak Patih Gajahmada dari kerajaan Majapahit mengadakan kunjungan dalam menyatukan Nusantara. Kunjungan ini kemungkinan besar dilaksanakan sesudah lawatan Gajahmada ke kerajaan Muang Thai dalam membendung serangan kerajaan Mongol. Saat itu Gajahmada memberikan hadiah Keris Susuhan yang masih tersimpan sampai saat ini di Hulu Mempawah. Kerajaan ini harus berakhir ketika kira-kira tahun 1400 Patih Gumantar tewas terkayau oleh serangan suku Biaju/Miaju.
Sekitar tahun 1610 kerajaan ini bangkit dan dilangsungkan di bawah kekuasaan Raja Kudung/Kodong. Pusat pemerintahan kerajaan Dayak ini berada di Pekana, Karangan. Istrinya bernama Puteri Berkelim.
Setelah Raja Kodong wafat pada tahun 1680, pemerintahan digantikan oleh Raja Senggauk/Sengkuwuk. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Pekana ke Senggauk, hulu sungai Mempawah. Raja Dayak ini beristrikan putri Kerajaan Batu Rizal Indragiri Sumatera yang bernama Putri Cermin. Putri Raja Kodong yang bernama Utin Indrawati kemudian dinikahi Panembahan Muhammad Zainudin, putra Kerajaan Tanjungpura.
Putri Kesumba, cucu Raja Senggauk dari Panembahan Muhammad Zainudin kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambon, bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari kerajaan Luwuk yang berdiam di Kerajaan Tanjungpura. Opu Daeng Menambon kemudian diangkat sebagai raja. Ia memindahkan pusat kerajaan ke daerah Sebukit Rama.
Tahun 1766 setelah wafatnya Opu Daeng Menambon, putra mahkota bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya naik takhta. Adiwijaya terkenal anti penjajahan dan pada masanya perlawanan terhadap Belanda pernah terjadi di daerah Galaherang, Sebukit Rama dan Sangking.
Tahun 1840 takhta diserahkan kepada putra mahkota Gusti Jati. Kota pusat kerajaan dibangun di pulau Pedalaman, tempat bekas pendudukan Belanda. Ibukota pusat pemerintahan dinamakan Mempawah, satu nama yang diambil dari nama pohon yang banyak tumbuh di hulu sungai Mempawah, yakni pohon Mempauh.
Pada zaman pemerintahan Gusti Jati terjadi serangan Sultan Kasim dari kerajaan Pontianak yang mengakibatkan mundurnya Gusti Jati ke daerah kerajaan lama, walau Sultan Kasim berhasil diusir mundur ke Pontianak. Tahun 1831 Belanda memanfaatkan kesempatan dengan menobatkan Gusti Amin menduduki kursi pemerintahan. Raja-raja berikutnya juga merupakan boneka Belanda. Setelah raja Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin ditangkap Jepang pada tahun 1944, Jepang mengangkat raja Gusti Mustaan sebagai pemangku jabatan Wakil panembahan karena putra mahkota masih terlalu muda. Putra mahkota tertua, Drs Jimmy Ibrahim, kemudian tidak melanjutkan pemerintahan karena penghapusan swapraja di Indonesia.
Sebelum terkenalnya Kerajaan Mempawah yang dikenal dengan Istana Amantubillah dan Opu Daeng Manambon, telah ada jauh kebelakang kerajaan Dayak yang ketika itu sangat populer dikenal di Kalimantan Barat. Dan apabila akan mencoba menuliskan sebuah kerajaan di Kalimantan Barat sebelah Barat khususnya, maka tidak dapat dilepaskan kaitan dan rangkaiannya dengan penduduk aslinya yaitu Suku Dayak yang mula pertama menjadi raja dan penguasa.
Sebagaimana dituturkan penulis sejarah Kerjaan Mempawah, Ellyas Suryani Soren, ditemui dikediamannya di Jalan Gusti Ibrahim Safiudin, Gang Berkat I, MempawahHilir, Minggu (23/12), kemarin, mengatakan, masuknya Agama Islam di Indonesia pada akhir abad ke 13 sekitar 1292 lalu, melalui Pulau Sumatera bagian Utara (Aceh), yang meluas sampai ke Pulau Jawa, maka berangsur-angsur runtuhlah kerajaan besar Majapahit yang terpusat di Pulau Jawa. Dan terdapatlah pulau besar yang belum pernah disentuh oleh penyebaran Agama Islam. “Kerajaan Melayu (Islam) di Kalimantan Barat tumbuh sebelum Imperium Melaka jatuh ketangan Portugis pada abat ke 16, sebagaimana diketahui adanya kerajaan Mempawah, Kerajaan Sambas, Kerajaan Matan (Ketapang) dan sejumlah kerajaan kecil di daerah pedalama,” katanya.
Perkembangan sebuah Kerajaan Melayu di Kalimantan Barat, khususnya Sambas dan Mempawah, termasuk Ketapang tidak terlepas dari kontribusi pahlawan-pahlawan Bugis yang memainkan peran di kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung. “Kerajaan mempawah lebih dikenal pada masa Pemerintahan Opu Daeng Manambon yaitu sejak 1737-1776, sebenarnya kerajaan Mempawah itu sudah ada sebelumnya diperkirakan sejak tahun 1380,” katanya.
Lanjutnya lagi pertama kali Kerajaan Mempawah berdiri, pusat pemerintahannya bukanlah terletak di Mempawah seperti yang dilihat bekas-bekas peninggalannya sekarang. Tetapi pusatnya terletak di Pegunungan Sidiniang (Mempawah Hulu). Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah Kerajaan Suku Dayak, adapun penguasa dari kerajaan suku Dayak adalah Patih Gumantar.
 Pada Kerajaan Patih Gumantar disebut kerajaan Bangkule Rajakng, ibukotanya ditetapkan di Sadiniang, bahkan kerajaannya dinamakan Kerajaan Sadiniang.
“Pada masa kekuasaan Patih Gumantar, Kerajaan Bangkule Rajakng berada dalam era kejayaan,” ucapnya. Sehingga kerajaan tetangga yang ingin merebutnya yaitu Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung, maka terjadi perang kayau mengayau (memenggal kepala manusia). Meskipun Patih Gumantar sangat berani, namun dengan adanya serangan mendadak. Patih Gumantar kalah dan kepalanya terkayau (terpenggal) oleh orang-orang Suku Bidayuh, sejak kematian Patih Gumantar kerajaan Bangkule Rajakng mengalami kehancuran.
“Beberapa abad kemudian kira-kira tahun 1610, Kerajaan Suku Dayak bangkit kembali di bawah kekuasaan Raja Kudong dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Pekana (sekarang dinamakan Karangan), namun berdirinya kerajaan ini tidak ada hubungannya dengan Patih Gumantar,” katanya.
Lanjutnya lagi, setelah Raja Kudong wafat pemerintahan diambil alih oleh Raja Senggaok dari pusat kerajannya dipidahkan ke Senggaok ( masih di hulu Sungai Mempawah). Raja Senggaok lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Senggaok yang mempunyai istri bernama Puteri Cermin yaitu salah satu puteri Raja Qahar dari kerajaan Baturizal Indragiri Sumatera dan mereka dikarunia seorang anak yang diberi nama Mas Indrawati.
“Pada saat perkawinan raja Senggaok dan Puteri Cermin, diramalkan seorang ahli nujum apabila kelak lahir seoarang anak perempuan dari hubungan mereka maka kerajaan tersebut akan diperintah oleh seorang raja yang berasal dari kerajan lain. Ketika usia Mas Indarwati telah cukup dewasa, ia dikawinkan dengan Sulthan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dan dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang puteri berparas cantik yang diberi nama Puteri Kesumba,” paparnya.
Ramalan ahli nujum terhadam Raja Senggaok dan Pitri Cermin apabila kelak lahir seoarang anak perempuan dari hubungan mereka maka kerajaan tersebut akan diperintah oleh seorang raja yang berasal dari kerajan lain ternyata menjadi kenyataan “Ternyata apa yang diramalkan ahli nujum itu benar adanya. Setelah berakhir pemerintahan Raja Senggaok. Kerajaan Mempawah diperintah oleh Raja Opu Daeng Manambon pelaut ulung dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan,” kata Ellyas Suryani Soren melanjutkan ceritanya yang pernah ditulisnya dalam buku Legenda dan Cerita Rakyat Mempawah. Maka dari itu, Ellyas menjelaskan, Opu Daeng Manambon bukanlah orang Kaliamantan asli, beliau beserta keempat adik-adiknya berasal dari Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan pemberani. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya merantau mengarungi lautan luas menuju Banjarmasin, Betawi, berkeliling sampai Johor, Riau, Semenajung Melayu akhirnya sampai pula di daerah Kerajaan Tanjungpura (Mantan). “Dalam perantauannya, kelima bersaudara tersebut banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang sedang mengalami kesulitan. Kesulitan seperti terlibat pada suatu peperangan, baik perang saudara ataupun baru diserang kerajaan lain. Karena kebiasaan tersebut dan sifat suka menolong terhadap pihak yang lemah inilah mereka terkenal sampai dimana-mana,” katanya. Dan terbukti apa yang dilakukan kelima saudara tersebut ketika datang di Kerajaan Tanjungpura. Pada saat itu Kerajaan Tanjungpura sedang terjadi perang saudara, disebabkan adik kandung Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Pangeran Agung menyerang Sultan Muhammad Zainuddin. Kelima saudara tersebut berhasil membantu memadamkan pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan dari Pangeran Agung. Bahkan Opu daeng Manambon berhasil mempersunting Puteri Sultan Muhammad Zainuddin yaitu Puteri Kesumba cucu dari Panembahan Senggaok.
“Dari perkawinan Opu Daeng Manambon dengan Putri Kesumba, lahirlah sepuluh orang putra puteri, tetapi yang paling terkenal yaitu Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya,” katanya. Lanjutnya lagi kertika Opu Daeng Manambon sampai di Senggaok, diadakan serah terima dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Manambon, karena Opu Daeng Manambon adalah cucu menantu Panembahan Senggaok. Sehingga Opu Daeng Manambon memangku jabatan Raja Mempawah yang ke tiga dandia memindahkan pusat Kerajaan Mempawah di Sebukit Rama ( kira-kira 10 Km ) dari Kota Mempawah.
“Pemerintahan yang dilaksanakan Opu Daeng Manambon berjalan lancar beliau termasuk seorang raja yang bijaksana dan penduduknya beragama Islam serta taat. Selain itu Opu Daeng Manambon ini selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam memecahkan segala persoalan di kerajaan,” tuturnya. Seperti yang diuraikan diatas tadi, dari kesepuluh putra-putri Opu Daeng Manambon hanya putrinya Utin Chandramidi adalah istri Sultan Abdurrahman Alkadrie, raja pertama Kerajaan Pontianak sehingga nama tersohornya sampai saat ini. Sedangkan putranya Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, selain dia sebagai raja pengganti ayahnya, juga lebih terkenal itu dengan Raja yang paling anti dengan penjajah (Belanda) dengan sumpahnya, jasadnya diharamkan untuk dimakamkan di tanah yang di injak oleh Penjajah Belanda. Setelah Opu Daeng Manambon wafat tanggal 26 Syafar 1175 Hijriah dan dimakamkan di Sebukit Rama yang selalu diramai dikunjungai masyarkat baik dari Kota Mempawah maupun daerah lain. Dimana kawasan makam Opu Daeng Manambon akan dikembangan menjadi kawasan wisata sejarah Kabupaten Pontianak. Dan ada keunikan yang ada disekitar makam dimana jumlah tangga selalu berubah dan setiap orang yang menghitung jumlahnya tidak akan pernah sama dengan orang lain.
“Setelah wafat Opu Daeng Manambon maka tampuk kerajaan diserahkan kepada Gusti Jamiril anaknya yang bergelar Panembahan Adijaya Kesuma Jaya. Dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Dan masa pemerintahan Gusti Jamiril pula, kerajaan Mempawah mengalami masa keemasan,” kata Ellyas Suryani Soren yang menjabat sebagai Sekretaris Majelis Adat Budaya Melayau Kabupaten Pontianak.Karena Panembahan Adijaya Kesuma mampu memimpin Kerajaan Mempawah dengan baik, kerajaannya menjadi suatu kerajaan yang makmur, akan tetapi beliau diifitnah membenci dan mau memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tentunya Belanda murka dan mengerahkan ratusan prajuritnya yang bermarkas di Pontianak untuk menyerang Kerajaan Mempawah.
“Melihat situasi yang tidak baik, akhirnya Panembahan Adijaya Kesuma mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah di Karangan yang letaknya di Mempawah Hulu,” katanya Keputusan tersebut diambil karena pada masa itu hubungan baik komunikasi maupun transportasi dari Mempawah ke Karangan sangat sulit sehingga gerakan pasukan Belanda menuju Karangan berjalan lamban sekali. Selain itu kebencian Panembahan Adijaya Kusuma terhadap penjajah Belanda semakin menjadi-jadi,” kata pria setengah baya ini.
Namun Panembahan Adijaya Kesuma sampai wafatnya terus berusaha mengusir Belanda. tetapi belum juga berhasil. Sebelum wafat beliau beramanah apabila meninggal dunia beliau tidak rela dikuburkan di luar kota Karangan, karena beliau tidak rela jenazahnya dijamah oleh Belanda. Dan setelah Gusti Jamiril (Panembahan Adijaya kesuma) wafat, jabatan raja diserahkan kepada anaknya Gusti Jati dan bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin dan kedudukannya adalah di Mempawah yang berarti bahwa beliaulah sebagai pendiri kota Mempawah ini. Kemudian sebagai pengantinya setelah Sultan Muhammad Zainal Abidin meninggal digantikan oleh adiknya Gusti Amir yang bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. “Setelah beliau wafat tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya Panembahan Mukmin. Namun ajal ditangan Allah SWT memang manusia punya rencana, tetapi Allah SWT juga yang menentukan segalanya, karena setelah selesai penobatan Panembahan Mukmin wafat dan sebab itu dia disebut Raja Sehari,” ucapnya.

Kemudian sebagai penggantinya adalah adiknya bernama Gusti Mahmud dan bergelar Panembahan Muda Mahmud. Panembahan Usman putera dari Panembahan Mukmin, kemudian naik tahta kerajaan setelah Panembahan Muda Mahmud mangkat. “Panembahan Usman ketika dia menjadi raja bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma dan mangkat pada tanggal 6 Jumadil Awal tahun 1280 Hijriah di makamkan di Pulau Pedalaman,” ujarnya.
Setelah wafat Panembahan Usman, maka yang memegang tampuk Kerajaan Mempawah adalah putera Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin, pada saat pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin inilah, Belanda mulai lagi menyakiti hati rakyat Mempawah sehingga tahun 1941 timbul pemberontakan Suku Dayak terhadap Belanda. Apalagi Belanda sudah mulai menggunakan kekerasan dan memaksa rakyat membayar pajak. Dan peristiwa ini disebut Perang Sangking, jelas rakyat Mempawah pada waktu itu mulai antisipasi terhadap Belanda.
Kemudian setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin ini wafat, maka semulanya pimpinan kerajaan akan diserahkan kepada Puteranya Gusti Muhammad Taufik, tetapi karena puteranya ini belum dewasa, maka kerajaan dipimpin sementara oleh Pangeran Ratu Suri kakak dari Gusti Muhammad Taufik sendiri.
Setelah beberapa tahun kemudian, Gusti Muhammad Taufik naik tahta pada tahun 1902 M dan kemudian bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Dua tahun 1944, Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin ini ditangkap oleh Jepang, bersama-sama Raja-raja daerah lainnya serta para Pemimpin Pemuka Masyarakat.
Kemudian 12 kepala Swapraja beserta tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang ditangkap Jepang yang akan memberontak terhadap rezim “Pemerintah Bala Bantuan Tentara Jepang” tersebut semuanya dihukum mati. Korban pembunuhan Jepang pada waktu itu tidak kurang dari 21.037 orang. Dan sebagian dari pada korban tersebut dikuburkan di Mandor dalam semak belukar. Beliau meninggalkan empat orang putera-puteri, yaitu Pangeran Mohammad yang sekarang dikenal dengan nama Drs. H. Jimmi Mohammad Ibrahim, kedua Pangeran Feitsal Taufik, Pangeran Abdullah dan Panggeran Taufikiah. Pada masa kedudukan Jepang, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti Raja yang diketuai oleh Pangeran Wiranata Kesuma (Tahun 1944-1946).
Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad yang baru berusia 13 tahun pernah diangkat sebagai tokoh (Panembahan) Mempawah oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang dalam suatu upacara di depan Gedung Kerapatan. Dan kemudian dilakukan upacara penobatan oleh tokoh-tokoh masyarakat, pada tahun1946 Belanda (NICA) datang kembali ke Mempawah dam mencoba mengangkat Panembahan (Raja) lagi.
Karena pada waktu itu Panembahan Pangeran Mohammad (Drs. Jimmi Mohammad Ibrahim) belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya, karena pada waktu itu baru duduk di kelas V SD (Jokio Ko Gakko), meskipun sudah pernah dinobatkan secara formil menjadi Panembahan, tetapi tidak bersedia diangkat kembali, maka diangkatlah Gusti Musta’an sebagai Raja sementara dengan gelar “Wakil Panembahan” sampai tahun 1957. Setelah Pangeran Mohammad dewasa, kemudian beliau menyatakan diri tidak bersedia diangkat sebagai Raja menggantikan ayahnya, dan masih tetap ingin melanjutkan sekolahnya di Perguruan Tinggi Gajah Mada di Yogyakarta. Dan disinilah berakhirnya kepemimpinan kerajaan Mempawah, dan sejarah menunjukan bahwa Kerajaan Mempawah sejak berdiri hingga berakhir sudah mengalami perpindahan pusat Kerajaan sampai 5 (lima) kali. Daerah-daerah yang pernah ditempati sebagai pusat pemerintahannya adalah, Pengunungan Sidiniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah. Dan Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan ini dibagi atas 2 (dua) zaman, yaitu zaman Hindu dan Islam. Pada zaman Hindu Pemerintahan Kerajaan Dayak dalam kekuasaan Patih Gumantar pusat pemerintahannya terletak di Pegunungan Sidiniang, Raja Kudong pusat pemerintahannya terletak di Pekana (Karangan), Panembahan Senggaok pusat pemerintahannya terletak di Senggaok.
Sedangkan pada zaman Islam dipimpin oleh Opu Daeng Manambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara, Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, Syarif Kasim bin Abdurrahman Alkadrie, Syarif Hussein bin Abdurrahman Alkadrie, Gusti Jati bergelar Sulthan Muhammad Zainal Abidin, Gusti Amir bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin, Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Natajaya Kesuma, Gusti Mahmud bergelar Panembahan Muda Mahmud Accamaddin, Gusti Usman bergelar Panembahan Usman, Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiuddin dan Gusti Taufik bergelar Panembahan Taufik Accamaddin.

Masa Pemerintahan Opu Daeng Menambon Pangeran Mas Surya Negara di Sebukit Rama (1737-1761)

Sebukit yang disebut tempat dimakamkannya Opu Daeng Menambon dulunya ialah “Sebuki Rama” didirikan Pati Gumantar dilanjutkan oleh Putranya Pati Nyabakng dengan istilah lain peninggalan itu disebut “Tembawang” atau bekas.
Jika Sebuki Rama dulunya sebagai pusat pemerintahan kerajaan Bangkule Rajank dengan memakai hukum adat dalam pemerintahanya itu , maka pada masa  Opu Daeng Menambon selaku Pangeran Mas Surya Negara dalam mengatur pemerintahannya telah menggunakan Syara’ Agama Islam,    menurut hukum adat yang telah berlaku itu diimbangi dengan hukum Siri. Hukum Siri itu adalah sebagian dari hukum adat Sulawesi selatan.
Khusus dalam pemerintahan orde Opu Daeng Menambon Pangeran Mas Surya ini, mungkin juga kerajaan lain di abat itu dilengkapi dengan mentri-mentri Kerajaan yang dijuluki dengan gelar Datuk Laksamana, Datuk kiyai Dalam, Datuk Malem, Datuk Pembekal, Datuk Petinngi dan Datuk Bendahara yang diambil dari susunan porsonalia sebuah bahtera di masa itu, tersusun pula dalam sebuah Kerajaan di darat. Bahtera ialah perahu layar yang telah disusun dengan staf seolah-olah sebuah Kerajaan di laut.
Adapun sebagai pegawai staf kerajaan adalah Datuk Laksamana sebagai penguasa tertinggi di laut, dan di darat pun sebagai penguasa pula di dalam kerajaan maupun hubungan keluar kerajaan bertindak sebagai  Dut Besar berkuasa penuh dari sebuah kerajaan.
Datauk kiyai berkuasa penuh dalam istana kerajaan atau dalam Megeri. Karena ia dapat memutuskan sesuatu perkara bila raja sedang bepergian atau berhalangan.
Datuk Malam adalah nahkoda yang bertugas dan bertanggung jawab atas perahu dan nelayan. Selain itu bila di darat dalam sebuah kerajaan ia berfungsi sebagai “Syahbandar” yang biasa di sebut Tok Bandar. Perahu-perahu pendatang hendakla melaporkan diri berikut awak kapal serta muatanya, baik datang maupun pulang.
Adapun pun Datuk Petinggi kedudukannya sebagai pimpinan suatu pertempuran dalam peperangan atau  bagian keamanan dalam istana kerajaan. Sedangkan Datuk Bendahara ialah orang yang juga sebagai calon pengganti raja bila raja mangkat.
Maka semua Datuk-datuk itu bergelar Mentri, dilengkapi pula dengan pengawal atau pembantunya masing-masing dari pada orang cerdik, pandai, gagah perkasa, bermoral dan berilmu tinggi. Dapat di tambahkan bahwa hukum adat yang berlaku di kerajaan Bangkule rajank yang terakhir bernama “Hukum Adat Kendayan”.
Yang dinamakan hukum syara’ itu ialah Hukum Agama Islam yaitu hukum yang mengenai masalah Ibadat, Mu’amalat, Munakahat, dan Kinayat.
Secara garis besarnya ialah :
·         Ibadat     yaitu hukum-hukum mengenai peribadatan seperti sembahyang, puasa,zakat, haji dan sebagainya.
·         Mu’amalat yaitu hukum-hukum mengenai jual beli, sewa menyewa, pinjaman, membuka perusaan, tanah dan sebagainya.
·         Munakahat/Perdata yaitu hukum-hukum kekelurgaan yang menyangkut masalah perkawinan kewarisan, perceraian dan sebaagainya.
·         Kinayat/pidana yaitu hukum-hukum yang erat kaitanya dengan negara dan pemerintah, antara lain aturan-aturan untuk mengatasi kejahatan, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.
Adapun siri’ dalam makna lain ialah malu-malu dengan pengertian untuk tidak berlaku atau berbuat  yang tidak senonoh. Baharuddin lopa, SH menjelaskan bahwa yang dikenal juga “siri” ialah meluapkan budi baik seseorang. Kalau seseorang perna ditololong oleh orang lain, maka ia malu kalau tidak dapat membalas budi baik (pertolongan) yang telah diterimanya. Selanjutnya dikatakan siri’ mempunyai aspek sosial yang lebih luas. Ia tak hanya mempunyai fungsi menjaga keutuhan harga diri seseorang saja, akan tetapi juga berfungsi  bagi kepentingan masyarakat. Selanjutnya mengenai “Hukum Adat” dikemukan di atas, terakhir ini bernama “Hukum Adat kendayan” yang berada dalam daerah pedalaman Kalimantan Barat.
Mentri kerajaan pada masa Opu Daeng Menambon Pangeran Mas Surya Negara, karena hukum pemerintahanya itu berlandaskan “Hukum Agama Islam” yaitu hukum syara’, dilengkapi pula dengan imam dan khatib, bilal dan lebai serta para ulama dibidangnya masing-masing sebagai pendamping raja dalam persoalan agama bagi sesuatu masalah seperti mengenai suatu keputusan  menentukan permulaan puasa ramadhan dan jatuhnya hari raya idul fitri, hari raya idul adha dan ta’lik dalam pernikahan yang disebut “Amar Raja” keputusan/perintah raja.
Sebagaimana diketahui bahwa khususnya semenanjung melayu dengan Kalimantan barat dapat dijajaki sejarah, sekitar tahun 1139 H- 1727 Masehi telah datang Opu Daeng Menambon yang berasal dari Sulawesi ke Terangganu yang terletak di pantai timur Semenanjung Melayu. Kedatangan Opu Daeng Menambon itu pada saat dilaksanakanya upacara pelantikan Tuan Zainal Abidin. Dalam pe itu pada saat dilaksanakanya upacara pelantikan Tuan Zainal Abidin. Dalam pelantikan ini di hadiri oleh raja Neng Cayang Patani yaitu seorang rh raja Neng Cayang Patani yaitu seorang raja perempuan petani, oleh karana Tuan Zainal Abidin adalah anak angkatnya dan juga saudara iparnya.
Dengan kehadiran Opu Daeng Menambon itu dan kemudian menjadi raja Mempawah sekitar tahun 1740 masehi, hal ini bearti adanya kontak antara Kalimantan Barat dengan Terangganu petani terletak di pntai timur Semenanjung Melayu.







    BAB V : PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Sebelum terkenalnya Kerajaan Mempawah yang dikenal dengan Istana Amantubillah dan Opu Daeng Manambon, telah ada jauh kebelakang kerajaan Dayak yang ketika itu sangat populer dikenal di Kalimantan Barat. Dan apabila akan mencoba menuliskan sebuah kerajaan di Kalimantan Barat sebelah Barat khususnya, maka tidak dapat dilepaskan kaitan dan rangkaiannya dengan penduduk aslinya yaitu Suku Dayak yang mula pertama menjadi raja dan penguasa. Lanjutnya lagi pertama kali Kerajaan Mempawah berdiri, pusat pemerintahannya bukanlah terletak di Mempawah seperti yang dilihat bekas-bekas peninggalannya sekarang. Tetapi pusatnya terletak di Pegunungan Sidiniang (Mempawah Hulu). Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah Kerajaan Suku Dayak, adapun penguasa dari kerajaan suku Dayak adalah Patih Gumantar.
 Pada Kerajaan Patih Gumantar disebut kerajaan Bangkule Rajakng, ibukotanya ditetapkan di Sadiniang, bahkan kerajaannya dinamakan Kerajaan Sadiniang.


B.     SARAN
Sebagai masyarakat kaliamantan barat khususnya masyarakat mempawah dan sekitarnya kita harus sama-sama menjaga dan melestarikan adat-istiadat yang diwariskan dari turun temurun kepada kita
Kita tidak boleh melupakan tradisi apalagi sampai meninggalkannya.
Kita harus menghargai perjuangan dari orang orang yang telah memberikan suatu kebanggan untuk Kalimantan barat khususnya mempawah.
Kita harus mempelajari, menjaga, melestarikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi adat-istiadat tersebut.




DAFTAR PUSTAKA
  • Suryani Soren, Ellyas. 2009. Sejarah Mempaawah Tempo Deoloe. Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah. Mempawah
  • Usman Syafaruddin. 2011. Sejarah Pemerintahan Kerajaan Mempawah Kalimantan Barat.
  • Blogspot.com/2008/02/sejarah.
  • Supeksa.wordpress.com/2010/11/19


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »